Secara
etimologi “etika” berasal dari bahasa Yunani:
“Ethos” (dalam bentuk tunggal), yang
memiliki banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang
habitat; kebiasaan; adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berpikir.
“ta
etha” (dalam bentuk jamak), yang artinya adalah adat
kebiasaan.
Arti
dari bentuk jamak ”ta etha” inilah yang melatar-belakangi terbentuknya
istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens,
2011).
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “etika”
memiliki 3 arti:
§ Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak)
§ Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
§ Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Etika
biasanya berkaitan erat dengan kata moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos”
dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat
kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik
(kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral
kurang lebih memiliki pengertian yang sama. Istilah
lain yang identik dengan etika, yaitu:
Susila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu
akhlak.
ETIKA DAN ETIKET
Pengertian etiket dan etika sering
dicampuradukkan, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda,
walaupun ada persamaannya. Istilah etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya
adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan kata etiket adalah berkaitan
dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Pendapat lain
mengatakan bahwa etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh
masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah lake
sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.
Menurut K.Bertens dari etika dan
etiket adalah sama-sama mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya
memberikan pedoman atau norma-norma tertentu tentang bagaimana seharusnya
seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Selain
persamaan tersebut, Bertens menyebutkan bahwa ada empat perbedaan antara etika
dan etiket, yaitu:
- Etika memberi norma tentang suatu perbuatan, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan baik buruknya. Etiket menyangkut cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.
- Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan.
- Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat daerah lainnya.
- Berlakunya sebuah Etika tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita senantiasa memandang suatu keadaan/peristiwa yang
terjadi dengan memasukkan unsur-unsur penilaian tentang baik buruk. Dengan
demikian kita telah memasukkan etika dalam cara berpikir kita. Kita telah
memasukkan unsur etis dalam setiap tutur kata kita sejalan dengan kebenaran
yang dipahami. Etika merupakan refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia
dari sudut norma-norma atau dari sudut baik dan buruk.
ETIKA DALAM
DUNIA MODERN
Setiap
kelompok masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Norma-norma etis
ini dapat bersumber dari agama, adat istiadat, maupun nasionalisme (kerangka
hidup bersama dalam suatu negara). Etika yang didalamnya terkandung norma dan
nilai kehidupan ini merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengatasi situasi moral/masalah-masalah yang timbul seiring dengan modernisasi
yang terjadi. Menurut Bertens, dalam dunia modern sekarang ini, ada 3 ciri
situasi etis yang menonjol dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
- Adanya pluralisme moral, dalam masyarakat yang berbeda terlihat norma/nilai yang berbeda pula. Pluralisme moral ini terutama dirasakan karena sekarang kita hidup dalam era komunikasi. Melalui media komunikasi modern, informasi dari seluruh dunia langsung memasuki rumah-rumah kita. Bersamaan dengan itu, suka tidak suka kita berkenalan dengan berbagai norma dan nilai dari masyarakat lain yang bisa jadi tidak sejalan dengan norma yang kita anut.
- Timbulnya masalah etis baru yang belum terduga sebelumnya, sebagai akibat semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada perkembangan ilmu-ilmu biomedis dapat diambil sebagai contoh adalah timbulnya manipulasi genetis khususnya manusia. Masih timbul polemik apakah percobaan kloning manusia dapat diterima ataukah tidak. Juga tentang reproduksi artifisial seperti: fertilisasi in vitro baik dengan donor atau pun tanpa donor, dengan ibu yang “menyewakan” rahimnya atau tidak. Selanjutnya dalam perkembangan ilmu fisika nuklir, telah mulai dikembangkan senjata nuklir dan pembangkit tenaga listrik yang beresiko tinggi. Demikian pula dengan perkembangan teknologi informasi yang yang memunculkan masalah moral yaitu tidak lagi terjaminnya privacy seseorang, dan munculnya hacker yang mebarkan virus komputer.
- Munculnya kepedulian etis yang universal. Kepedulian etis yang universal ini dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran moral. Ungkapan kepedulian etis yang nyata adalah munculnya Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang diproklamasikan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan pernyataan hak yang pertama dalam sejarah, dan merupakan pernyataan pertama yang diterima secara global.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar